Sedangkan kata toasebio pada Gereja Katolik Santa Maria de Fatima, menunjukkan akulturasi budaya Tionghoa dalam pelayanan umat, seperti dengan mengadakan misa ekaristi mingguan dalam bahasa Mandarin dan misa Imlek.
SEJARAH GEREJA SANTA MARIA DE FATIMA TOASEBIO
Sejarah gereja ini berawal pada 1950-an, ketika Vikaris Apostolik Jakarta saat itu, Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ, memberi tugas kepada Pastor Wilhelmus Krause Van Eeden SJ untuk membangun pelayanan umat katolik berupa tempat ibadah, sekolah, dan asrama.
Sebuah rumah tinggal bergaya arsitektur asli Tionghoa yang beralamat di Jalan Kemenangan bernama Toosebiostraat kemudian digunakan untuk tujuan tersebut.
Kini nama jalannya berubah menjadi Jalan Kemenangan, Glodok, Tamansari, Jakarta Barat.
Sebagai pastor kepala pertama , ditunjuklah Pastor Antonius Loew SJ yang berasal dari Austria. Sedangkan untuk mengelola sekolah, dipercayakan kepadaPastor Leitenbauer SJ.
Tidak sendiri, Pastor Leitenbauer SJ kemudian juga dibantu oleh beberapa pastor yang baru saja mendarat dari daratan China yaitu: Pastor Conradus Braunmandl SJ, Pastor Zwaans SJ, serta Pastor Carolus Staudinger SJ.
Mereka inilah yang bersama-sama mendirikan sekolah yg diberi nama Sekolah Ricci.
SEJARAH SEKOLAH RICCI
Nama “Ricci” diambil dari nama Matteo Ricci, pastur dari Ordo Yesuit Italia yang melakukan aktivitas misionarisnya di Tiongkok selama masa Dinasti Ming
Matteo Ricci masih dikenal sebagai salah seorang misionaris terhebat di Tiongkok berkat jasanya memperkenalkan budaya Barat ke Tiongkok. Dan Gereja yang dia bangun masih menjadi Gereja Katolik terbesar yang selamat dari Revolusi Kebudayaan.
Sekolah Ricci ternyata cukup berhasil, untuk memenuhi kebutuhan siswanya, sekolah Ricci juga membuka juga kursus Bahasa Inggris, Jerman, dan Mandarin, yang dikenal dengan sebutan Ricci Evening School.
Tak lama kemudian sekolah Ricci juga mendapat bantan seorang pastor dari China bernama Joannes Tsheng Chau Ming SJ.
Pastor Tsheng mendirikan sebuah perkumpulan siswa-siswi sekolah Ricci, yang dinamakan “Ricci Youth Center”.
Ia juga memiliki inisiatif memanfaatkan gedung kosong yang ada di belakang gereja untuk digunakan sebagai asrama bagi siswa-siswa yang berasal dari luar daerah.
PERLUASAN GEREJA
Pada perkembangannya, umat Santa Maria De Fatima semakin bertambah.
Untuk mengatasi kurangnya ruangan sebagi sarana peribadatan, pada tahun 1953 gereja membeli sebidang tanah seluas 1 ha dari seorang kapitan bermarga Tjioe.
Di atas tanah tersebut sudah berdiri sebuah bangunan utama yang diapit dua bangunan lainnya. Bangunan utama tersebut digunakan sebagai kapel, kemudian diperluas menjadi gereja.
Gereja tersebut selanjutnya diakui secara resmi sebagai paroki pada 13 Oktober 1955 dan diberi nama Gereja Santa Maria de Fatima. Namanya tersebut ditujukan untuk mengenang peristiwa penampakan Santa Maria kepada tiga anak di Fatima, Portugal, pada tahun 1917.
Wilayah Paroki Toasebio mencakup Glodok, Jembatan Lima, Tambora, Tanah Sereal, Krendang, Pekojan, dan Penjaringan.
Paroki Toasebio adalah salah satu contoh hasil inkulturasi antara budaya Tionghoa dan agama Katolik karena sebagian besar umat Paroki Toasebio adalah keturunan Tionghoa yang secara geografis tinggal di daerah ‘pecinan’ Jakarta.
PERGANTIAN PEMIMPIN GEREJA TOASEBIO
Pada tahun 1970, Paroki Toasebio diserahterimakan kepada Serikat Xaverian (SX).
Para pastor SX kemudian melakukan renovasi gereja, penggantian lantai dan langit-langit, serta penataan tempat untuk takhta patung Maria de Fatima dan patung Hati Kudus Yesus serta pemasangan dan pemberkatan lukisan Yesus yang terbuat dari ukiran kayu.
Saat ini, Paroki Toasebio dipimpin oleh Pastor Fernando Abis SX dibantu pastor rekan, Pastor Yonas Mallisa SX dan Pastor Salvador Cruz Rojo SX.