Sejak ribuan tahun lalu, banyak filsuf atau ilmuwan membahas keluarga sebagai pokok-pokok materi filsafat. Kata keluarga dalam arti denotatif ataupun metaforis antara lain dijadikan rujukan studi antropolog legendaris, seperti Clifford Geertz, dengan magnum opusnya,
The Religion of Java, juga karya istrinya, Hildred Geertz, Keluarga Jawa, atau Niels Murder dengan Pribadi dan Masyarakat di Jawa-nya.Sebagai etnik terbesar di negeri ini, keluarga Jawa adalah identitas sosioantropologis yang selalu menarik dikaji dalam pelbagi sudut pemikiran.
Keluarga Jawa, antara lain, dijadikan referensi dalam studi sejarah yang berpangkal pada pandangan yang istana sentris atau metafisis dari-katakanlah-kelompok neorevivalis agama. Termasuk, keluarga Jawa bisa dijadikan obyek kajian yang lebih khusus, di bidang pendidikan cum pengajaran, setidaknya dalam analisis dinamika kebudayaan mikro.
Dalam banyak pustaka tradisional, keluarga Jawa kerap disinggung dalam proses relasi sosio-kulturalnya dengan bagian-bagian masyarakat lainnya. Dalam kitab Serat Centhini dari awal abad ke-19, keluarga Jawa dinyatakan sebagai fondasi berdiri tegaknya peradaban Jawa.
Sayang sekali, jati diri keluarga Jawa saat ini mulai tergerus arus modernitas yang kebablasan, antara lain tampak pada praksis kebebasan berlebihan yang malah memunculkan sikap yang fanatik atau fundamentalistis dalam agama, hingga (bahkan) tersisihnya nalar sehat.
Kecenderungan yang justru kian tidak modern ini, antara lain, mengambil korban pada identitas budaya keluarga Jawa di mana anggota-anggotanya mulai kehilangan kepercayaan pada nilai dan moralitas yang dibangun oleh adat dan tradisi dalam keluarga Jawa.
Lebih jauh, hal lebih memprihatinkan pun terjadi, ketika ortodoksi atau semacam revivalisasi keagamaan yang sempit mulai memandang identitas kejawaan dianggap berlawanan dengan prinsip kebenaran agama dari kaum revivalis itu.
Banyak falsafah ajaran masyarakat Jawa yang didakwa tidak sesuai norma syariah, misalnya, walau sesungguhnya dalam pemahaman spiritualitas dasarnya sama. Modernitas Barat Pendidikan di keluarga Jawa pun cenderung meninggalkan pola "pengasuhan", "pengajaran", dan "pembudayaan" falsafah kejawaan.
Keluarga Jawa kian tergila-gila modernitas Barat. Kini, banyak keluarga Jawa alpa akan acuan-acuan budi pekerti yang terwariskan melalui bahasa dan budaya. Jawa, sebagai sebuah tradisi dan himpunan nilai serta moralitas, kian teralienasi dalam pergaulan sosial mutakhir, bahkan oleh komunitas Jawa sendiri.
Egalitarianisme yang menjadi karakter Jawa sejak dahulu kini menipis dengan muncul praanggapan, kecurigaan atau prasangka, bahkan di antara mereka sendiri. Pendidikan keluarga Jawa yang dekat dengan materi ajaran kedamaian, keadilan, penghormatan nilai-nilai humanis semakin ditanggalkan.
Apalagi, jiwa dan pikiran orang Jawa yang estetis makin tak terlihat, berganti kekasaran dan rendahnya apresiasi. Padahal, pendidikan keluarga Jawa sangat dekat dengan sentuhan etik, estetika kebudayaan yang menghargai kebebasan ekspresi, serta koeksistensi antarkomponen masyarakat.
Seperti Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan yang banyak mengambil intisari dari sistem pengajaran Jawa, dalam bukunya Pendidikan dan Kebudayaan (1972), menegaskan relasi pendidikan yang memuat materi edukasi nilai budaya, yang akan membuat anak didik menjadi insan yang bernurani sosial.
Situasi ini memunculkan urgensi untuk mengembalikan "ruh" kejawaan, begitu pun ruh-ruh dari tradisi besar lain di negeri ini, sebagai salah satu jalan untuk terhindarnya kita dari kekosongan jiwa atau karakter, dalam diri bangsa.
Model pendidikan keluarga Jawa di masa lalu, yang sebenarnya fit-in dengan realitas mutakhir, mesti dibangkitkan atau juga direvivalisasi demi terbangunnya karakter di kalangan generasi muda, yang antara lain memiliki rasa hormat (respek), bukan hanya pada apa yang "lebih" (tua, cerdas, santun, dan lain-lain), melainkan juga pada perbedaan yang berasal dari luar dirinya
Masyarakat, khususnya keluarga "muda" Jawa, membutuhkan referensi yang bisa dijelaskan dengan bahasa populer tentang kisah hebat pendidikan berlatar budaya Jawa yang berhasil membentuk bangunan moralitas kepemimpinan nasional.
Para pemimpin nasional di masa lalu yang berintegritas, berkapabilitas, dan berkomitmen atas nilai kemanusiaan berbasis keluarga (Jawa), sebaiknya menjadi kisah heroik, bersanding dengan hero-hero modern yang diimpor dari luar.
Sumber: kompas. id, "Pendidikan Keluarga Jawa", 24 Juli 2017