Sebelum ada pranata mangsa, masyarakat menggunakan sistem penanggalan saka hindu yang berdasarkan pergerakan matahari. Sistem ini lama kelamaan dianggap kurang akurat. Sehingga pada tahun saka hindu 1554 atau bertepatan dengan tahun 1933 M, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti sistem penanggalan matahari menjadi sistem bulan seperti kalender hijriah.
Penerapannya dilakukan mulai pada hari Jumat Legi saat tahun baru saka 1555, bertepatan dengan 1 Muharram 1043 H atau 8 Juli 1633 M. Pergantian sistem ini tidak menghitung tahun saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun pertama, tetapi meneruskannya.
Pada tahun 1855 M, karena penanggalan bulan dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani untuk bercocoktanam, maka perhitungan bulan-bulan musim atau bulan-bulan matahari oleh diperbaharui oleh Sri Paduka Mangkunegara IV.
Perhitungan pranata mangsa, pada prakteknya cukup mudah digunakan dan terbukti sangat bermanfaat, oleh sebab itu hampir semua petani menggunakannya. Namun, mengapa penanda pertanian dalam kalender jawa ini tidak digunakan lagi? Simak penjelasannya sebagai berikut:
Menurut Ahmad Tohari, seorang budayawan asal Purwokerto, pranata mangsa tidak digunakan lagi berawal pada tahun 1962, dimana penggunaan DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) dari Amerika tidak terkendali. Alih-alih menanggulangi penyakit pada tanaman, DDT yang berlebihan justru menyebabkan punahnya beberapa predator hama wereng dan musuh alami lainnya. Akibatnya hasil panen merosot drastis dan menyebabkan kerugian yang sangat besar.
Kemudian juga akibat beberapa faktor seperti: iklim yang tidak menentu karena perubahan alam atau hasil modifikasi cuaca, hilangnya sebagian flora dan fauna yang menjadi indikator penanda musim, serta tidak adanya regenerasi yang paham akan perhitungan pranata mangsa.
Penyebab selanjutnya adalah adanya perubahan pola agraris ke pola industrial di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Dimana sebelumnya petani bercocok tanam hanya untuk memenuhi kehidupan hidupnya sendiri, namun berangsur terjadi perubahan pola ke industrial dimana petani dituntut bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan sendiri namun juga memenuhi kebutuhan orang banyak.
Tidak digunakannya lagi pranata mangsa, secara tidak langsung mempengaruhi penetapan pola tanam yang dilakukan petani. Mereka hanya mengandalkan kebiasaan atau insting semata. Tidak dipungkiri, jika tidak menggunakan pranata mangsa bisa panen 3 kali, dibandingkan menggunakan perhitungan pranata mangsa yang hanya 2 kali. Walaupun pada prakteknya seringkali mengalami masalah seperti kekurangan air saat tanaman membutuhkannya.
Semestinya para ahli pertanian meneliti kembali, mengapa penanda pertanian dalam kalender jawa tidak lagi digunakan Apakah memang benar-benar tidak bisa diterapkan sebagai bagian dari kearifan lokal? Mengingat masyarakat sekarang semakin peduli dengan lingkungannya....