Ajian Pancasona sudah terkenal sejak jaman kerajaan Hindu-Budha, dan masih diwariskan hingga sekarang. Dikisahkan beberapa pahlawan negara memakai ajian ini untuk berperang melawan penjajah. Jika mereka tetap mati terbunuh pun, lebih karena dikhianati orang terdekatnya dengan cara membocorkan ajiannya kepada pihak musuh.
Beberapa kalangan menganggap ajian pancasona sebagai ilmu hitam, karena orang yang memiliki ajian ini biasanya melakukan perjanjian dengan makhluk gaib seperti jin dan sebagainya yang tentunya tidak gratis. Mereka menggadaikan sebagian kebahagiannya, seperti tidak bisa menikah, tidak bisa punya keturunan, atau kebahagiaan lainya. Mereka juga hidup sengsara karena kesepian di tinggal mati terlebih dahulu oleh orang - orang terkasihnya.
Nyawa pemilik ajian Pancasona tidak bisa berpisah dari tubuhnya, walaupun badan mereka bisa mengering dan menciut, hingga berubah menjadi hal yang dikenal dengan nama jenglot.
Mereka juga punya kelebihan dalam hal penglihatan tak terbatas (astral projection), bisa melihat dengan detail suatu kejadian walau berada di tempat yang berbeda. Pada jaman dulu di gunakan untuk mencari tau strategi musuh saat berperang. Namun ada juga yang memakainya untuk kepentingannya sendiri, seperti merampok hingga menjadi pembunuh bayaran.
Walaupun kebal dari benda-benda tajam, kelemahan pemilik ajian Pancasona lemah terhadap senjata yang terbuat dari sisa-sisa hewan seperti gading gajah atau taring macan.
Ajian yang di wariskan leluhur tanah Jawa ini, dipercayai sebagian masyarakat masih ada sampai sekarang, utamanya di beberapa daerah di pulau Jawa. Salah satu tokoh yang dikaitkan dengan ilmu Pancasona adalah Eyang Bawadiman Djojodigdo. Lahir di Kulon Progo pada 29 Juli 1827, saat berkecamuk perang Diponegoro.
Mengutip catatan sejarah Patih Djojodigdo yang ditulis Rahadi Priyo Sembodo disebutkan, pada usia 12 tahun dia mengikuti pamannya, Bupati Ngrowo yakni RMT Notowijojo 3 di Bono Tulungagung. Saat dewasa, dia menjadi menantu Bupati Brebes, Nganjuk yakni RMT Pringgodigdo. Dari istri pertamanya, RA Djojodigdo lahir 10 putra. Selama hidupnya, Djojodigdo mempunyai empat orang istri dengan anak sejumlah 30 orang.
Putra ke 3 dari istri pertamanya, yakni RMAA Djojoadhiningrat, merupakan suami seorang tokoh emansipasi wanita, yaitu RA Kartini. Djojodigdo dilantik menjadi Patih Blitar pada 8 September 1877. Jabatan Patih pada saat itu, sebagai pelaksana administratur tertinggi di bawah Bupati. Djojodigdo pensiun pada tahun 1895. Eyang Djojodigdo dikabarkan pernah meninggal sehari tiga kali. Tapi tiap saat akan dikuburkan , begitu jasadnya menyentuh tanah itu langsung bangkit, hidup lagi. Beliau baru bisa meninggal, setelah ilmu Pancasona yang diambil sang guru yang memberi ilmu itu, yaitu Kyai Imam Sujono atau Eyang Jugo.
Baca juga: Ajian Brajamusti, Ilmu Tingkat Tinggi Yang Bikin Ngeri