Komunitas Jomblo Katolik, Solusi Menemukan Calon pendamping Seiman Pada Usia Kerja

Menjadi minoritas di Indonesia adalah tentang keleluasaan yang hilang. Apalagi jika menyangkut pokok yang sulit dilonggar-longgarkan: iman dan pernikahan. Secara matematis, peluang seorang beragama Katolik diuntuk menemukan pasangan hidup yang cocok memang sempit dari segi populasi. Peluang tersebut, di atas kertas, tentu tak sebesar saudara-saudara muslim, misalnya. Itu fakta!

Masalahnya, standar masyarakat seolah memaksa seseorang kawin tak lebih dari usia 30 tahun. Dengan struktur sosial yang bagai tak berpihak pada mereka, wajar rasanya bila beberapa orang Katolik melajang hingga usia yang dipandang tak lazim oleh masyarakat.

Resah dengan keadaan umat Katolik yang pilih menikah dengan pasangan berbeda keyakinan, Alexander Bayu dan beberapa koleganya kemudian mendirikan Komunitas Jomblo Katolik (KJK). lahir di Salatiga, Jawa Tengah medio 2009. Kini komunitas tersebut telah tersebar di berbagai kota besar di Jawa dan Sumatera.

Komunitas Jomblo Katolik yang berada di Jakarta, membernya berad pada rentang usia rata-rata 30-40 tahun. Rentang usia yang galau, menurut Agatha Garcia, Ketua Komunitas Komunitas Jomblo Katolik (KJK) Jakarta.  Ia juga menuturkan bahwa di rentang usia tersebut , banyak laki-laki dan perempuan merasakan tekanan luar biasa, mengingat  teman-teman hingga sudara sudah menikah dan memiliki anak. 

Atas dasar situasi dan kondisi diatqas, Agatha Garcia dan beberapa koleganya  membidani lahirnya komunitas yang kini telah tersebar di berbagai kota besar di Jawa dan Sumatera ini. Khusus untuk KJK regional Jakarta yang dibentuk pada tahun  2010, jumlah anggotanya mencapai 200-an orang.

Sejak awal, KJK memang dirancang hadir untuk orang-orang Katolik usia dewasa, bukan muda-mudi berusia sekolah atau mahasiswa. Saat mendaftar, calon anggota mesti berusia 23-50 tahun, suatu rentang usia yang ditaksir merupakan usia kerja. Hal ini disengaja, karena, berbeda dengan sekolah atau kampus, tak ada perusahaan atau kantor yang khusus mempekerjakan seseorang beragama tertentu.

Tanpa wadah macam KJK, orang-orang Katolik yang tengah meniti karier dinilai kesulitan menemukan calon pendamping seiman, lantaran ruang gerak yang sempit sebagai kelompok minoritas. Sulit disangkal, dasar iman yang sama memang hampir selalu jadi prioritas seseorang ketika hendak memilih pendamping hidup.

Anak beragama Katolik, umumnya bersekolah di sekolah Katolik yang mayoritas muridnya Katolik juga.  Sementara untuk seorang Katolik menekuni karier, lingkaran-lingkaran sosial berlatar belakang kesamaan iman seperti tadi semakin kabur. Mau Gabung OMK (Orang Muda Katolik), ketuaan. Ikut acara gereja di lingkungan masing-masing, yang datang emak-emak, bapak-bapak, nenek-nenek. Jarang yang usia dewasa muda ikut aktif, demikian yang dipaparkan olah Agatha.

Di usia kerja itulah, KJK memfasilitasi, karena peluang mereka untuk menemukan teman atau calon seiman semakin kecil. Tak heran, jika aktivitas KJK ini dapat dikatakan perjodohan terselubung. Walaupun pada awalnya KJK berawal dari dunia maya, dengan cara memanfaatkan sejumlah akun media sosial, terutama Facebook. Namun, pada akhirnya mengalami beberapa masalah, utamanya untuk urusan pengelolaan kontennya. Oleh sebab itu, KJK kemudian mengutamakan perjumpaan secara langsung,  sebagai pintu masuk perkenalan.

Bahkan tidak jarang upaya penjodohan pada sejumlah anggota pun dilakukan oleh para pengurus KJK, terutama regional Jakarta. Sebab, 50 persen anggota KJK regional Jakarta merupakan perantau. Berbagai trik pun disiapkan pengurus untuk proyek penjodohan “terselubung” ini. Dalam lingkup yang lebih luas, KJK rutin menggelar jambore nasional setiap tahun yang diikuti anggota-anggota KJK regional. Jambore nasional inilah yang menjadi ladang persemaian cinta para anggota.

Agatha bercerita di jambore nasional itu, minimal ada sekitar 300 anggota KJK dari berbagai daerah yang berkumpul. Tak hanya membahas soal komunitas, tapi para anggota yang hadir juga sudah berniat mencari jodoh.  Agatha mengklaim, hampir 50 orang anggota KJK yang saling berjodoh dalam kesempatan jambore nasional sejak pertama kali dihelat.

Nyaris tiap tahun, ada saja anggota yang jadian dalam jambore. Dari sana, tak sedikit pula yang melanjutkan hubungan hingga pelaminan. Meskipun melepas status lajang, mereka tak ditendang dari komunitas. Mereka malah dijuluki “alumni” KJK dan berperan sebagai inspirasi bagi anggota lainnya agar mampu menemukan pendamping seiman. Di samping urusan jodoh-menjodohkan, para pengurus pun akan berupaya menjaga urusan jodoh ini dalam kondisi sehat, dalam artian monogamis sebagaimana doktrin Gereja Katolik.

Walaupun mengakui bahwa para pengurus KJK merancang praktik penjodohan secara implisit, namun Agatha membantah bila komunitas yang telah ia geluti sejak 2012 itu merupakan biro jodoh. Jauh di luar urusan-urusan roman picisan, ada pesan yang hendak disampaikan oleh para jomlo Katolik berusia dewasa ini: ‘jomblo bukan akhir kehidupan, jomblo bukan tragedi’.

Agatha memastikan, inti keberadaan KJK tak sekadar mendorong orang-orang Katolik menemukan pendamping hidup seiman, tetapi juga mendampingi mereka yang belum memperoleh pendamping. Itu dia sebabnya, komunitas ini bernama “komunitas jomblo”, bukan “komunitas jodoh.

Sumber: kompas.com

  • Legenda Ajian Pancasona, Kebal Senjata Tajam Hingga Tak Bisa Mati

    Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah mengenal kebudayaan yang menghubungkan antara ritual, ilmu, dan kebatinan. Salah satunya adalah ajian Pancasona. Pemilik ajian pancasona dipercaya tidak akan mati selama tubuhnya masih menyentuh bumi dan kebal senjata tajam
  • Keris Towo, Penyembuh Gigitan Hewan Berbisa

    Keris towo, atau besi kuning atau disebut wesi kuning adalah benda yang digunakan sebagian orang untuk melindungi diri dari gangguan jahat. Asal mula munculnya pusaka ini tidak terlepas dari kisah antara Damarwulan dan Minak Djinggo.
  • Hobi Naik Sepeda? Jangan Lupa Bawa Bidon

    Peranti ini pasti tak asing dengan para pedalis. Bidon ternyata artinya “botol air”, diambil dari bahasa Prancis. Dalam sejarah sepeda, bidon awalnya berupa botol logam dengan bukaan yang disegel gabus. Bidon itu dicantolkan di handlebar. Bentuk dan ukurannya kira-kira sama dengan bidon sekarang ini. Untuk penempatannya, umumnya menggunakan keranjang yang ditempelkan di handlebar yang bisa memuat dua bidon.