Disahkan sebagai badan hukum pada tanggal 18 Maret 1881 berdasarkan konsesi tertanggal 1 Desember 1879, SJS akan membangun jalur dan mengoperasikan kereta api yang menghubungkan wilayah Lingkar Muria Raya (Demak – Kudus – Juwana) dengan Semarang.
Sebagai langkah pertama, SJS membangun stasiun kereta api di kota Joana (sekarang disebut Juwana) tepatnya di daerah Doropayung dan stasiun semarang (Stasiun Samarang Centraal) di wilayah Jurnatan.
Setelah stasiun dan jalurnya berfungsi dengan baik di Lingkar Muria, SJS melanjutkannya menuju Rembang yang berakhir di Jatirogo. Selain itu juga dibangun percabangan menuju Tayu.
STASIUN JUWANA PASCA KEMERDEKAAN
Pada tahun 1942, Jepang berhasil menduduki sebagian besar daerah Hindia Belanda, dimulai dari Tarakan, Kalimantan Timur pada 12 Januari 1942.
Lalu, hanya dalam waktu singkat, Jepang berhasil merebut sebagian besar daerah lainnya, seperti Balikpapan, Pontianak, Banjarmasin, dan Palembang.
Berlanjut pada 1 Maret 1942, dipimpin oleh Jenderal Hitoshi Imamura, Jepang dapat menguasai wilayah penting di Jawa, yaitu Teluk Banten, Eretan Wetan di Jawa Barat, dan Kragan di Jawa Tengah.
Dan pada 5 Maret 1942, Jepang berhasil menguasai Batavia dan memukul mundur pasukan Belanda ke Lembang, Jawa Barat. Merasa terdesak, Belanda akhirnya menyatakan diri takluk tanpa syarat kepada Jepang.
Akibatnya, seluruh jalur kereta api yang mencapai panjang 7.464 kilometer diambil alih oleh tentara jepang, termasuk Samarang-Joana.
Situasi dan kondisi perkeretaapian berubah lagi setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pekerja perusahaan kereta api yang tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari Jepang.
Pada tanggal 28 September 1945, pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya menegaskan bahwa mulai hari itu kekuasaan perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia oleh sebab itu Jepang sudah tidak berhak untuk mencampuri.
Peristiwa inilah yang melandasi ditetapkannya tanggal 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api Nasional serta hari kelahiran Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) sebagai operator kereta api di wilayah Republik Indonesia saat itu.
Untuk mengelola jalur dan mengoperasikan kereta api yang sudah dikuasai, pada tanggal 31 Desember 1949, DKARI bekerjasama dengan Staatsspoorwegen/Verenigde Spoorwegbedjrif (SS/VS), perusahaan Belanda yang pada tahun 1878 membangun jalur rel dari Buitenzorg (bogor) hingga Surabaya.
Kerjasama ini berakhir pada ketika pemerintah Indonesia mengambil alih aset milik pemerintah Hindia Belanda, termasuk SS/VS, berdasarkan keputusan yang ditetapkan pada Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Kemudian pada tanggal 1 Januari 1950, pemerintah menggabungkan DKARI dan SS/VS untuk membentuk Djawatan Kereta Api (DKA).
Pada tahun 1959 bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1959 oleh Soekarno, SJS yang mengoperasikan jalur kereta api Semarang-Juwana dilikuidasi.
Pada tahun 1963, pemerintah mengubah Djawatan Kereta Api (DKA) menjadi sebuah perusahaan negara (PN) dengan nama Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).
Pada tanggal 15 September 1971, pemerintah mengubah nama Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).
Tak lama kemudian, permerintah menutup beberapa jalur kereta api, seperti Jalur Juwana–Tayu yang di non aktifkan pada tahun 1975. Berlanjut dengan penutupan jalur Kemijen–Rembang pada tahun 1986.
Sedangkan stasiun Juwana ditutup pada tahun 1992, disusul oleh penutupan jalur Rembang–Blora dan Wirosari–Kradenan pada tahun 1996.
Setelah di non aktifkan, stasiun juwana yang termasuk dalam Wilayah Aset IV Semarang serta merupakan stasiun utama kedua di Kabupaten Pati ini dimanfaatkan sebagai gelanggang bulu tangkis oleh warga setempat dan tidak ada reaktivasi untuk jalur dan stasiun ini.
KARTODIKROMO - WEDANA DISTRIK MANTEOP JUWANA
Mas Kartodikromo yang pada saat kecil dipanggil dengan nama ‘Sakiman’, lahir pada tanggal 06 Juni 1803, jam 6 pagi, di kampung Maduran, di sebelah timur sungai Juwana (belakangan disebut juga dengan nama Pencikan ).
ada usia 14 tahun, Mas Behi Kartodikromo menikah dengan Mas Sarak (atau disebut juga sebagai Mas Anten sarak, sesuai catatan Mas Behi Kartodikromo tertanggal 20 Maret 1861 dan catatan leluhur mas Koesoemowisastro, wedana District Tlogowungu Pati)
Pernikahannya dilaksanakan di Mesjid Pati, pada hari Rabu 29 Oktober 1817, jam 10 siang. Pernikahan tersebut hanya berusia 10 tahun, karena Mas Anten Sarak wafat pada hari Selasa tanggal 6 maret 1927, dengan meninggalkan satu orang anak perempuan yaitu Mas Sakinah yang baru berusia 5 tahun.
Pada tanggal 10 Agustus 1827, Mas Behi Kartodikromo menikah lagi dengan Mas Soenti, putri dari Mas Soerodimedjo yang tinggal di kampung Kauman.
Riwayat Pekerjaan.
- 5 Januari 1818 - Jurutulis kantor Assistant Resident Juwana. Dimulai dari jaman Johannes Stokbroo, hingga Boud
- Juli 1832 - Selain menjadi Jurutulis, Mas Kartodikromo merangkap pekerjaan sebagai Mantri Gudang Keffie
- Juni 1833 - Mas Kartodikromo ditetapkan sebagai Demang Distrik Mantup, Juwana
- 4 September 1873 – Berhenti menjabat sebagai Demang Distrik Mantup. Menurut catatan pribadi Mas Kartodikromo, hal itu disebabkan oleh kurang harmonisnya hubungan beliau dengan Patih Juwana yaitu Raden Behi Djojodirjo. Pada jaman itu yang menjadi Bupati di Juwana adalah Kanjeng Kiahi Adipati Mangkoedipoero II, yang tak lain adalah saudara buyut Soerodimedjo , mertua perempuan Mas Kartodikromo.
- 17 Oktober 1837 – Dengan bantuan dari Assistant Resident Polisi Semarang yaitu Johannes Cornelis Gijsbert Borwater, Mas Kartodikromo diterima bekerja di pabrik gula Pakis sebagai mantri tebu. Yang dimaksud dengan Mantri Tebu adalah petugas yang memiliki kemampuan lebih untuk mengurus tebu.
- 2 Mei 1843 - Mas Kartodikromo ditunjuk menjadi jurutulis kabupaten Juwana.
- 2 September 1854, diangkat kembali menjadi Wedana Districk Mantup.
- 9 November 1866 - Mas Kartodikromo pensiun dari Wedana Districk Mantup.
Pada hari Jumat jam 9 pagi, tanggal 21 Oktober 1881, Mas Kartodikromo wafat dan dimakamkan di belakang masjid kauman, Juwana. Dibawah ini adalah daftar anggota keluarga (anak) Mas Behi Kartodikromo:
(No.1). | Raden Nganten Soemodiwerio (Mas Rara Sakinah) |
(No.2). | Mas Rara Sakinah |
(No.3). | Mas Rara Soemeni |
(No.4). | Mas Soeredjo (Sardjoe) |
(No.5). | Mas Adjeng Soemodiwirio (Mas Rara Soedji) |
(No.6). | Mas Rara Soewilah |
(No.7). | Mas Adjeng Kromoredjo (Mas Rara Sakilah) |
(No.8). | Mas Adjeng Ronodipoero (Satidjah) |
(No.9). | Mas Rara Sardjiah |
(No.10). | Mas Soetoredjo (Sodja) |
(No.11). | Mas Behi Sastroredjo |
(No.12). | Mas Soedjak |
(No.13). | Mas Rara Saheni |
(No.14). | Mas Kartaredja (Soetopo) |
(No.15). | Mas Adjeng Noto (Sakinah) |
(No.16). | Mas Soentoro |
(No.17). | Mas Salidjo |
(No.18). | Mas Adjeng Mertoprodjo (Sasini) |
|
Catatan;
- Jadi jumlah anak Kartodikromo adalah 18 orang. Pada saat pakem selesai dibuat yaitu tahun 1931 semua sudah meninggal. yang terakhir meninggal adalah Mas Soetoredjo, tahun 1929
Lanjut ke: Silsilah Kiahi Djalidin, Ayah Mas Behi Kartodikromo